DIAGNOSIS
DVT dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe sentral (iliac DVT dan femoral DVT) dan tipe perifer (DVT pada vena poplitea dan daerah distal). Berdasarkan gejala dan tanda klinis serta derajat keparahan drainase vena DVT dibagi menjadi DVT akut dan kronis. Diagnosis DVT ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda yang ditemukan pada pemeriksaan fisik serta ditemukannya faktor resiko (Bates, 2004). Tanda dan gejala DVT antara lain edema, nyeri dan perubahan warna kulit (phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea dolens/blue leg) (JCS Guidelines, 2011). Skor dari Wells (tabel 1) dapat digunakan untuk stratifikasi (clinical probability) menjadi kelompok resiko ringan, sedang atau tinggi (JCS Guidelines, 2011; Hirsh, 2002).
Tabel-1. Skor Wells (Hirsh, 2002)
Pasien dengan DVT dapat memiliki gejala dan tanda yang minimal dan tidak khas karenanya pemeriksaan tambahan seringkali diperlukan untuk menegakkan diagnosa (Hirsh, 2002). Pemeriksaan D-dimer <0,5 mg/ml dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Nilai prediktif negatif pemeriksaan D-dimer pada DVT lebih dari 95%, pemeriksaan ini bersifat sensitif tapi tidak spesifik, sehingga tidak dapat dipakai sebagai tes tunggal untuk diagnosis DVT (Adam, 2009; Wolberg, 2009). Angiografi (venografi atau flebografi) merupakan pemeriksaan baku yang paling bermakna (gold standard), namun pemeriksaan non invasive ultrasound (USG Doppler) dapat menggantikan peran angiografi pada kondisi tertentu. USG Doppler memberikan sensitivitas 95% dan spesifisitas 96% untuk mendiagnosa DVT yang simptomatis dan terletak pada bagian proksimal akan tetapi pada isolated calf vein thrombosis sensitivitasnya hanya 60% dan spesifisitasnya kurang lebih 70% (JCS Guidelines, 2011; Righini, 2007; Hirsh, 2002: Ramzi, 2004). Jika dengan metode pemeriksaan USG doppler dan D-dimer diagnosis DVT belum dapat ditegakkan maka magnetic resonance venography (MRV) harus dilakukan (JCS Guidelines, 2011). Algoritme diagnosis DVT dapat dilihat pada gambar-1.
TERAPI INISIAL
Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus yang makin luas dan emboli paru. Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah kekambuhan dan terjadinya sindrom post trombotik. Kombinasi heparin dan antikoagulan oral merupakan terapi inisial dan drug of choice DVT (Key, 2010; Scarvelis , 2006; Ramzi, 2004; Bates, 2004).
Gambar-1. Algoritme diagnosis DVT (Hirsh, 2002)
Unfractionated Heparin (UFH)
Unfractionated heparin (UFH) memiliki waktu mula kerja yang cepat tapi harus diberikan secara intravena. UFH berikatan dengan antitrombin dan meningkatkan kemampuannya untuk menginaktivasi faktor Xa dan trombin (Mackman, 2010; Deitcher, 2009). Dosis Unfractionated heparin berdasarkan berat badan dan dititrasi sesuai kadar activated partial-thromboplastin time (APTT). Dosis heparin yang disesuaikan berdasarkan berat badan dan APTT dapat dilihat pada tabel-2. Target APTT yang diinginkan adalah antara 1,5 sampai 2,3 kali kontrol. Respon antikoagulan dari UFH berbeda pada tiap-tiap individu karena obat ini berikatan secara nonspesifik dengan plasma dan protein sel. Efek samping meliputi perdarahan dan trombositopeni. Pada terapi inisial resiko terjadinya perdarahan kurang lebih 7%, hal ini tergantung pada dosis, usia, penggunaan bersama dengan antitrombotik atau trombolitik. Trombositopeni transien terjadi pada 10-20% pasien. Pemberian heparin dapat dihentikan 4-5 hari setelah penggunaanya bersama warfarin jika target International Normalized Ratio (INR) dari prothrombin clotting time lebih dari 2,0 (Ramzi, 2004; Bates, 2004).
Low Molecular Weight heparin (LMWH)
Low Molecular Weight Heparin (LMWH) bekerja dengan cara menghambat faktor Xa melalui ikatan dengan antitrombin (Mackman, 2011). LMWH merupakan antikoagulan yang memiliki beberapa keuntungan dibanding UFH antara lain respon antikoagulan yang lebih dapat diprediksi, waktu paruh yang lebih panjang, dapat diberikan sub kutan satu sampai dua kali sehari, dosis yang tetap, tidak memerlukan monitoring laboratorium. LMWH banyak menggantikan peranan UFH sebagai antikoagulan (Deitcher, 2009; Hirsh, 2002).
Tabel-2. Dosis heparin berdasarkan berat badan dan APTT
Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang terjadi dibanding penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan antara lain kelainan darah, riwayat stroke perdarahan, metastase ke central nervous system (CNS), kehamilan peripartum, operasi abdomen atau ortopedi dalam tujuh hari dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan aman dan efektif terutama jika pasien edukatif serta ada sarana untuk memonitor. Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan trombosis masif, memiliki kecenderungan perdarahan yang tinggi seperti usia tua, baru saja menjalani pembedahan, riwayat penyakit ginjal dan liver serta memiliki penyakit penyerta yang berat (Hirsh, 2002; Bates, 2004; Ramzi, 2004). LMWH diekskresikan melalui ginjal, oleh karena itu pada penderita ganguan fungsi ginjal perannya dapat digantikan oleh UFH (Mackman, 2011; Key, 2010).
Seperti UFH pemberian LMWH juga dikombinasikan dengan warfarin selama empat sampai lima hari dan dihentikan jika kadar INR setelah penggunaanya bersama warfarin mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin (lovenox) adalah LMWH pertama yang dikeluarkan oleh U.S. Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi DVT dengan dosis 1 mg/kgBB, dua kali sehari. Dalteparin (Fragmin) hanya digunakan untuk terapi profilaksis dengan dosis 200 IU/kgBB/hari dalam dosis terbagi dua kali sehari. Tinzaparin (Innohep) diberikan dengan dosis 175 IU/kgBB/hari (Ramzi, 2004). Pilihan lain adalah penggunaan fondaparinux (Arixtra). Fondaparinux adalah pentasakarida sintetik yang bekerja menghambat faktor Xa dan trombin (Mackman, 2011). Dapat digunakan sebagai profilaksis dan terapi pada kondisi akut dengan dosis 5 mg (BB <50 kg), 7,5 mg (BB 50-100 kg), atau 10 mg (BB >100 kg) secara subkutan, satu kali perhari (Mackman, 2011; Buller, 2004).
TERAPI JANGKA PANJANG
Setelah terapi inisial dengan UFH atau LMWH, terapi antikoagulan dilanjutkan dengan pemberian derivat kumarin sebagai profilaksis sekunder untuk mencegah kekambuhan (Bates, 2004). Warfarin adalah obat yang paling sering diberikan. Warfarin adalah antagonis vitamin K yang menghambat vitamin K-dependent clotting factor (faktor II, VII, IX, X) melalui hambatan terhadap enzim vitamin K epoxide reductase (Dietrich, 2009). Dosis awal yang diberikan adalah 5 mg pada hari pertama sampai hari keempat, dosis dititrasi tiap 3 sampai 7 hari dengan target kadar INR berkisar 2,0 sampai 3,0. Dosis yang lebih kecil (2-4 mg) diberikan pada usia tua, BB rendah dan kondisi malnutrisi (Bates, 2004; Hirsh, 2002).
Therapeutic window warfarin sangat sempit sehingga monitoring INR secara berkala diperlukan untuk mencegah trombosis rekuren dan efek samping perdarahan. INR sebaiknya diperiksa 2 kali per minggu selama 1 sampai 2 minggu awal penggunaan, diikuti 1 kali perminggu untuk 4 minggu berikutnya, lalu tiap 2 minggu sekali untuk 1 bulan berikutnya dan akhirnya tiap sebulan sekali jika target INR tercapai dan pasien dalam kondisi optimal (Bates, 2004; Hirsh, 2002). Penggunaan LMWH sebagai terapi alternatif jangka panjang sedang dievaluasi. LMWH memiliki beberapa keuntungan dibanding warfarin yaitu tidak memerlukan monitoring INR sehingga cost effective dan dapat digunakan jika ada kesulitan akses laboratorium, LMWH juga memiliki onset dan offset of action yang lebih cepat daripada warfarin, lebih efektif pada trombosis pasien kanker dan kasus rekurensi trombosis pada penggunaan warfarin jangka lama. Akan tetapi kelemahan LMWH adalah penggunaannya yang tidak nyaman bagi pasien karena harus diberikan subkutan disamping harganya yang mahal (Hirsh, 2002: Bates, 2004).
Warfarin sebagai terapi jangka panjang DVT memiliki banyak kelemahan antara lain onset of action yang lambat, dosis yang bervariasi antar individu, interaksi dengan banyak jenis obat dan makanan, therapeutic window yang sempit sehingga membutuhkan monitoring ketat. Oleh karenanya dibutuhkan agen antikoagulan oral yang baru dan lebih baik untuk menggantikannya. Ada beberapa macam antikoagulan baru yang telah banyak dipakai sebagai profilaksis DVT seperti rivaroxaban (inhibitor faktor Xa), apixaban (inhibitor faktor Xa) dan dabigatran etexilate (inhibitor trombin) tetapi belum ada yang digunakan sebagai terapi pada DVT akut. Secara teori obat antikoagulan baru memiliki kelebihan dibanding warfarin antara lain onset of action yang cepat dan tidak membutuhkan terapi inisial dengan antikoagulan parenteral, tapi belum ada penelitian tentang hal ini. Kekurangan obat antikoagulan baru adalah tidak adanya antidotum yang spesifik terehadap efek samping perdarahan sehingga penggunaan obat-obat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut, selain itu harganya jauh lebih mahal dari warfarin (Key, 2010; Garcia, 2010; Mackman, 2010).
DURASI PENGGUNAAN ANTIKOAGULAN
Durasi penggunaan antikoagulan tergantung pada resiko terjadinya perdarahan dan rekurensi dari trombosis. Resiko perdarahan selama terapi inisial dengan UFH atau LMWH kurang lebih 2-5%, sedangkan pada penggunaan warfarin kurang lebih 3% pertahun. Annual case fatality rate pada penggunaan antikoagulan adalah 0,6%. Case fatality rate rekurensi DVT kurang lebih 5% (Hirsh, 2002). Banyak studi membandingkan keuntungan dan kekurangan pemberian oral vitamin K antagonis jangka panjang (>3 bulan) karena adanya fakta bahwa kejadian DVT sebenarnya merupakan kasus kronik dengan angka rekurensi jangka panjang yang cukup signifikan (<50% setelah 10 tahun penghentian antikoagulan) (Key, 2010; Zhu, 2009). Terapi antikoagulan yang inadekuat dapat meningkatkan resiko terjadinya rekurensi dan sindroma post trombotik (Zhu, 2009).
Secara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Pasien dengan faktor resiko reversibel memiliki resiko rekurensi yang rendah setelah terapi antikoagulan selama 3 bulan, sebaliknya pada pasien DVT idiopatik/unprovoked yang hanya diterapi selama 3 bulan memiliki resiko rekurensi sekitar 10-27%. Berdasarkan hasil penelitian prospektif dan ekstrapolasi dari penelitian terhadap resiko rekurensi setelah episode awal trombosis, pasien dapat diklasifikasikan menjadi kelompok resiko rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi (Bates, 2004; Hirsh, 2002)
Tabel-4. Kategori resiko rekurensi dan rekomendasi durasi terapi (Hirsh, 2002)
TERAPI TROMBOLITIK
Trombolitik memecah bekuan darah yang baru terbentuk dan mengembalikan patensi vena lebih cepat daripada antikoagulan (Bates, 2004). Trombolitik dapat diberikan secara sistemik atau lokal dengan catheter-directed thrombolysis (CDT). Terapi trombolitik pada episode akut DVT dapat menurunkan resiko terjadinya rekurensi dan post thrombotic syndrome (PTS) (Key, 2010; Kahn, 2009). Serine protease inhibitor endogen seperti urokinase dan rekombinan tissue plasminogen activator (r-TPA) menggantikan fungsi streptokinase sebagai obat pilihan pada terapi trombolitik sistemik dengan efek samping yang lebih minimal, akan tetapi banyak pusat-pusat kesehatan lebih memilih menggunakan alteplase (Patterson, 2010). Trombolitik sistemik dapat menghancurkan bekuan secara cepat tapi resiko perdarahan juga tinggi. Penggunaan trombolitik dengan CDT akan menghasilkan konsentrasi lokal yang lebih tinggi daripada secara sistemik dan secara teori seharusnya dapat meningkatkan efikasinya dan menurunkan resiko perdarahan (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006; Bates, 2004).
Resiko terjadinya perdarahan pada penggunaan trombolitik lebih besar dibanding penggunaan heparin (Bates, 2004; Patterson, 2010). Indikasi dilakukan trombolisis antara lain trombosis luas dengan resiko tinggi terjadi emboli paru, DVT proksimal, threatened limb viability, adanya predisposisi kelainan anatomi, kondisi fisiologis yang baik (usia 18-75 tahun), harapan hidup lebih dari 6 bulan, onset gejala <14 hari, tidak ada kontraindikasi dilakukan trombolisis (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006). Kontraindikasi trombolisis antara lain bleeding diathesis/trombositopeni, resiko perdaraham spesifik organ (infark miokard akut, trauma serebrovaskular, perdarahan gastrointestinal, pembedahan, trauma), gagal hati atau gagal ginjal, keganasan (metastase otak), kehamilan, stroke iskemi dalam waktu 2 bulan, hipertensi berat yang tidak terkontrol (SBP>180 mmHg, DBP>110 mmHg) (JCS Guiedelines, 2011; Patterson, 2010).
CDT dilakukan dengan tuntunan ultrasound sehingga dapat meminimalkan terjadinya komplikasi dan punksi multipel pembuluh darah (Patterson, 2010). Protokol tindakan trombolisis dapat dilihat pada tabel 3.
Pemilihan untuk dilakukan trombolisis atau tidak, pemilihan agen trombolitik, penggunaan venous stenting tambahan dan inferior vena cava filter (IVC) berbeda-beda pada tiap pusat kesehatan. IVC tidak rutin dilakukan dan umumnya hanya dipakai sementara, penggunaannya dilakukan pada kondisi tertentu seperti adanya kontraindikasi penggunaan antikoagulan dan timbulnya DVT pada penggunaan rutin antikoagulan. Penggunaanya harus melalui diskusi tim multidisiplin dan kasus per kasus (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006; Bates, 2004). Pemasangan stent endovaskular pada saat dilakukan CDT dapat dilakukan pada kasus tertentu seperti adanya kelainan anatomi yang mendasari timbulnya DVT (May-Thurner syndrome). Pada sindrom ini vena iliaka komunis ditekan oleh arteri iliaca komunis sehingga terjadi tekanan dan kerusakan pembuluh darah. Penyebab lain yaitu kompresi oleh tumor daerah pelvis, osteofit, retensi urin kronik, aneurisma arteri iliaka, endometriosis, kehamilan, tumor uterus (Patterson, 2010). Aspiration thrombectomy juga dapat dilakukan bersama CDT pada kasus tertentu. Terapi antikoagulan tetap harus dilakukan setelah tindakan trombolisis untuk mencegah progresivitas dan munculnya kembali trombus (JCS Guidelines, 2011; Patterson, 2010).
TERAPI NON FARMAKOLOGIS
Terapi non farmakologis/physical therapy hanya sedikit evidence based nya. Latihan dan compression dapat mengurangi pembengkakan, nyeri serta mengurangi insiden terjadinya post thrombotic syndrome (PTS). Penggunaan compression stockings selama kurang lebih 2 tahun dimulai 2-3 minggu ketika diagnosa DVT ditegakkan menurunkan resiko timbulnya PTS. Peranan compression stockings atau intermitten pneumatic compression (IPC) dalam mencegah PTS belum sepenuhnya dimengerti, namun penggunaannya telah digunakan secara luas. Compression stockings sebaiknya digunakan pada pasien dengan gejala berat dan mereka yang memiliki fungsi vena yang jelek (JCS Guidelines, 2011; Kahn, 2009; Bates, 2004).
Tabel-3. Protokol trombolisis pada DVT (Patterson, 2010)
TROMBEKTOMI
Indikasi open surgical thrombectomy antara lain DVT iliofemoral akut tetapi terdapat kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan trombolitik maupun mechanical thrombectomy, lesi yang tidak dapat diakses oleh kateter, lesi dimana trombus sukar dipecah dan pasien yang dikontraindikasikan untuk penggunaan antikoagulan. Trombus divena iliaka komunis dipecah dengan kateter embolektomi fogarty dengan anestesi lokal. Trombus pada daerah perifer harus dihilangkan dengan cara antegrade menggunakan teknik milking dan esmarch bandage. Kompresi vena iliaka harus diatasi dengan dilatasi balon dan atau stenting. Setelah tindakan pembedahan, heparin diberikan selama 5 hari dan pemberian warfarin harus dimulai 1 hari setelah operasi dan dilanjutkan selama 6 bulan setelah pembedahan. Untuk hasil yang maksimal tindakan pembedahan sebaiknya dilakukan kurang dari 7 hari setelah onset DVT. Pasien dengan phlegmasia cerulea dolens harus difasiotomi untuk tujuan dekompresi kompartemen dan perbaikan sirkulasi (JCS Guidelines, 2011).
POSTTHROMBOTIC SYNDROME (PTS)
Postthrombotic syndrome adalah komplikasi kronik dari DVT. Kurang lebih sepertiga dari pasien DVT akan timbul komplikasi PTS, 5-10% menjadi PTS berat dengan gejala ulserasi vena (Kahn, 2009). Diagnosis PTS merupakan diagnosis klinis yang didasarkan pada timbulnya gejala berupa kelemahan tungkai, nyeri, edema, gatal, kram, parestesi pada tungkai bawah, memberat pada aktivitas, berdiri, berjalan dan membaik dengan istirahat. Gejala ini disebabkan karena hipertensi vena yang persisten (karena obstruksi intravena residual) atau insufisiensi valvular vena (Key 2010; Kahn, 2009). Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema, teleangiektasi peri-malleolar, ektasis vena, hiperpigmentasi, kemerahan, sianosis, ulkus. The Subcommittee on Control of Anticoagulation of the Scientific and Standardization Committee of the International Society on Thrombosis and Hemostasis merekomendasikan penggunaan skala villalta untuk diagnosis PTS. Compression Ultrasonography dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan kecurigaan PTS tanpa ada riwayat DVT sebelumnya (Kahn, 2009).
Penatalaksanaan PTS meliputi penggunaan elastic compression stockings (ECS) untuk mengurangi edema dan keluhan, intermitten pneumatic compression efektif untuk PTS simptomatik berat, agen venoaktif seperti aescin atau rutosides memberikan perbaikan gejala jangka pendek. Compression therapy, perawatan kulit dan topical dressings digunakan untuk ulkus vena (Kahn, 2009). PTS dapat dicegah dengan penggunaan tromboprofilaksis pada pasien resiko tinggi, rekurensi trombus ipsilateral dicegah dengan pemberian antikoagulan yang tepat dosis dan durasi, menggunakan elastic compression stocking selama kurang lebih 2 tahun setelah diagnosis DVT ditegakkan. Peran trombolisis pada pencegahan PTS belum diketahui secara jelas. Peranan CDT dalam rangka prevensi PTS juga membutuhkan evaluasi lebih lanjut (Kahn, 2009).
RINGKASAN
Deep vein thrombosis (DVT) merupakan pembentukan bekuan darah pada lumen vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah dan jaringan perivena, disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh darah, hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran darah vena. Faktor resiko DVT antara lain faktor demografi/lingkungan (usia tua, imobilitas yang lama), kelainan patologi (trauma, hiperkoagulabilitas kongenital, antiphospholipid syndrome, vena varikosa ekstremitas bawah, obesitas, riwayat tromboemboli vena, keganasan), kehamilan, tindakan bedah, obat-obatan (kontrasepsi hormonal, kortikosteroid). Tanda dan gejala DVT antara lain edema, nyeri dan perubahan warna kulit (phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea dolens/blue leg). Angiografi (venografi atau flebografi) merupakan pemeriksaan baku yang paling bermakna (gold standard), namun pemeriksaan non invasive ultrasound (USG Doppler) dapat menggantikan peran angiografi pada kondisi tertentu. Pemeriksaan D-dimer <0,5 mg/ml dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus yang makin luas dan emboli paru. Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah kekambuhan dan terjadinya sindrom post trombotik. Kombinasi heparin dan antikoagulan oral (warfarin) merupakan terapi inisial dan drug of choice DVT. Secara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Indikasi dilakukan trombolisis antara lain trombosis luas dengan resiko tinggi terjadi emboli paru, DVT proksimal, threatened limb viability, adanya predisposisi kelainan anatomi, kondisi fisiologis yang baik (usia 18-75 tahun), harapan hidup lebih dari 6 bulan, onset gejala <14 hari, tidak ada kontraindikasi dilakukan trombolisis. Indikasi open surgical thrombectomy antara lain DVT iliofemoral akut tetapi terdapat kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan trombolitik maupun mechanical thrombectomy, lesi yang tidak dapat diakses oleh kateter, lesi dimana trombus sukar dipecah dan pasien yang dikontraindikasikan untuk penggunaan antikoagulan. Terapi non farmakologis/physical therapy hanya sedikit evidence based nya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adam S, Key N, Greenberg C (2009). D-dimer antigen: current concepts and future prospects. Blood, 113:2878-87
2. Bailey A, Scantlebury D, Smyth S (2009). Thrombosis and antithrombotic in women. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:284-88
3. Bates S, Ginsberg G (2004). Treatment of deep vein thrombosis. N Engl J Med, 351:268-77
4. Buller H, Davidson B, Decousus H, Gallus A, Gent M (2004). Fondaparinux or enoxaparin for the initial treatment of symptomatic deep vein thrombosis. Ann Intern Med, 140:867-73
5. Deitcher S, Rodgers D (2009). Thrombosis and antithrombotic therapy. In: Greer J. Wintrobe’s clinical hematology,12th ed, Lippincott william and wilkins. Philadhelphia: p 1465-99
6. Garcia D, Libby E, Crowther M (2010). The new oral anticoagulants. Blood, 115:15-20
7. Goldhaber S (2010). Risk factors for venous thromboembolism. Journal of the American College of Cardiology, 56:1-7
8. Hirsh J, Lee A (2002). How we diagnose and treat deep vein thrombosis. Blood, 99: 3102-3110
9. JCS Guidelines (2011). Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention of pulmonary thromboembolism and deep vein thrombosis (JCS 2009). Circ J; 75: 1258-1281
10. Kahn S (2009). How I treat postthrombotic syndrome. Blood, 114:4624-4631
11. Key NS, Kasthuri RS. Current treatment of venous thromboembolism. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 30: 372-375
12. Mackman N, Becker R (2010). DVT: a new era in anticoagulant therapy. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 30: 369-371
13. Patterson B, Hinchliffe R, Loftus I (2010). Indications for catheter-directed thrombolysis in the management of acute proximal deep venous thrombosis. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 30: 669-674
14. Ramzi D, Leeper K (2004). DVT and pulmonary embolism: part II. treatment and prevention. Am Fam Physician, 69:2841-48
15. Righini M (2007). Is it worth diagnosing and treating distal vein thrombosis? no. J Thromb Haemost, 5:55-9
16. Scarvelis D, Wells P (2006). Diagnosis and treatment of deep vein thrombosis. CMAJ, 175:1087-92
17. Sousou T, Khorana A (2009). New insights into cancer-associated thrombosis. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:316-20
18. Wakefield T, Myers D, Henke P (2008). Mechanisms of venous thrombosis and resolution. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 28:387-91
19. Wolberg A, Mackman N (2009). Venous thromboembolism: risk factors, biomarkers, and treatment. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:296-297
20. Zhu T, Isabelle M, Emmerich J (2009). Venous thromboembolism: risk factor for reccurence. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:298-310